Ahad, 3 Mac 2013

07 di kampar - Google Blog Search

07 di kampar - Google Blog Search


Banjir <b>di Kampar</b> akibat Penataan Ruang Amburadul

Posted: 29 Nov 2011 04:00 PM PST

PEKANBARU--: Banjir bandang yang melanda delapan desa dan menewaskan sedikitnya dua warga di kawasan suaka margasatwa (SM) Rimbang Baling, Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Riau, pada Jumat (25/11) pekan lalu, diakibatkan penataan ruang yang amburadul.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau menilai keberadaan pemukiman penduduk di SM Rimbang Baling tidak dapat dijadikan kambing hitam penyebab kerusakan lingkungan di wilayah lindung tersebut.

Inilah dampak penataan ruang yang amburadul dalam penetapan arah pembangunan sehingga tidak lagi mempertimbangkan keseimbangan ekologis dan keselamatan rakyat," kata Direktur Eksekutif Walhi Riau Hariansyah Usman, di Pekanbaru, Rabu (30/11).

Menurut Hariansyah, keberadaan masyarakat di kawasan SM Rimbang Baling yang sudah hidup daerah itu sebelum terbitnya Surat Keputusan (SK) Gubernur Riau No 149/V/1982 tentang penetapan SM Rimbang Baling seluas 136 ribu hektar tidak bisa dijadikan kambing hitam atas kerusakan alam dan bencana banjir bandang yang melanda wilayah resapan air tersebut. Apalagi, kini Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kampar berencana akan merelokasi 200 rumah di daerah itu. Artinya keberadaan masyarakat bukan penyebab kerusakan lingkungan tapi pelaksanaan aturan yang dibuat pemerintah tapi tidak pernah dijalankan dan dipatuhi pemerintah sendiri," ungkap Hariansyah.

Oleh karena itu, lanjutnya, rencana relokasi warga desa oleh Pemkab Kampar bukanlah suatu solusi yang tepat. Relokasi seharusnya jangan dipandang memindahkan permukiman saja.

Lebih tepat lagi, jika warga diberikan pelatihan dan pembinaan karena banyak potensi yang bisa dikembangkan di kawasan itu tanpa harus merusak hutan. Jika dipaksakan relokasi, bagaimana dengan adat budaya dan tradisi mereka yang sudah melekat di wilayah itu?" imbuhnya.

Sebenarnya saat ini, tambahnya, banyak sekali program yang dibuat oleh Kementrian Kehutanan (Kemenhut). Di antaranya program hutan rakyat, hutan desa, dan sebagainya. Program itu bertujuan untuk mengajak lebih arif memanfaatkan hutan dan sekaligus bisa bermanfaat ekonomi bagi masyarakat.

"Dulunya pada 2000, daerah Rimbang Baling itu marak aksi illegal logging. Pada saat penertiban di era Kapolda Riau Sutjiptadi (tahun 2007), pembalakan liar menurun. Tapi sekarang kembali muncul meski skala kecil," jelas Hariansyah.

Kawasan hulu SM Rimbang Baling yang dihuni sedikitnya 1.000 kepala keluarga dari delapan desa yaitu Batu Sanggan, Aur Kuning, Muara Bio, Tanjung Beringin, Gajah Bataluik, Tarusan, Subayang Jaya, dan Pangkalan Serai tergolong sebagai daerah tertinggal. Selama puluhan tahun, kawasan itu tidak memiliki akses jalan darat, tak mempunyai aliran listrik, dan sinyal telepon genggam untuk berkomunikasi.

Satu-satunya akses penghubung antar desa adalah melalui sungai sebayang dilewati perahu motor yang disebut warga sekitar Robin.

Menurut Hariansyah, seharusnya pemerintah kembali berpegang kepada aturan hukum dalam penataan konsep tata ruang wilayah di daerah itu. Seperti ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), mesti dilaksanakan strategi pencegahan kerusakan lingkungan dengan menyelenggarakan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup.

Pemerintah harus melindungi kemampuan lingkungan hidup dari tekanan perubahan dan dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. "Sekarang tergantung pemerintah, apakah akan terus mengabaikan atau memilih melaksanakan strategi pencegahan kerusakan lingkungan itu?" kata Hariansyah. (RK/OL-10)

Sumber : http://www.mediaindonesia.com/read/2011/11/30/280312/126/101/Banjir-di-Kampar-akibat-Penataan-Ruang-Amburadul

Tiada ulasan:

Catat Ulasan